Laman

Sabtu, 27 Februari 2010

Berharap Dia Pun Tahu

Aku sudah mulai terbiasa. Semua yang mengganggu hatiku sudah hampir dapat kukendalikan sepenuhnya. Tak apalah tak ada perjumpaan. Tak masalah walau tak ada sapa dalam sisa hari ini. Paling aku hanya bisa berkirim pesan melalui orang lain. Tak lebih dari itu.

Aku hanya bisa mengadu. Hanya pada Allah tentunya. Dalam sisa malam hampir setiap harinya.

Aku hanya bisa mencurahkan semua melalui tulisan ini. Tak lebih kuberharap. Hanya ingin dia tahu bagaimana rasaku ini. Sukur-sukur dia pun merasakan hal yang sama denganku.

Belum pantas memang kuutarakan semua. Mungkin aku berharap terlalu muluk-muluk. Bermimpi mendapat sesuatu yang tak mungkin kudapat. Kata pepatah, bagaikan punguk merindukan bulan. Tapi apa salahnya kalau cuma sekedar meluapkan kerinduan, walaupun memang hanya sekedar kerinduan sampai ujung hariku.

Terakhir kalinya aku berharap semoga dia tahu bagaimana rasaku ini. Sebenarnya aku masih ingin membuka ruang hatiku untuk yang lain. Tapi aku tak kuasa membukanya, hanya dia yang tahu kode kombinasi untuk membuka kunci pengaman dalam hatiku. Pernah coba kudobrak, tapi aku tak mampu. Itu malah hanya melukai diriku sendiri.

Satu keniscayaan yang kuyakini adalah, bahwa Allah telah mengatur semuanya. Dia telah menuliskan jalanku dalam Lauhul Mahfudz. Aku pun tak tahu bagaimana kelanjutan kisahku ini. Yang jelas aku berharap ada kebahagiaan dalam akhirnya, walau hanya sebentar kurasa. Aku sangat berharap lebih, mendapatkan kebahagiaan berjumpa dengan-Nya, ditemani bidadari-bidadari di tempat terbaik yang telah disediakan-Nya. Menikmati segala sajian yang telah dihidangkan-Nya. Aku sangat mengharapkannya. Berjumpa dengan-Nya setiap hari, dengan keadaan terbaikku.

Senin, 22 Februari 2010

Sepasang Angsa Putih Itu


Beraromakan Kesucian
Penuh Penghargaan dan Penghormatan
Saling Mencintai dengan Ketulusan

Aku begitu iri melihat kedua angsa putih itu
Jalinan Kasihnya Tampak Mempesona
Bukan Mereka Saja yang merasakan
Tapi Orang yang melihatnyapun pasti tahu
Betapa besarnya rasa cinta mereka,
Mereka tampak Begitu Setia,

paduan kedua leher itu,,
membentuk lambang hati simbol cinta mereka
aku begitu iri pada sepasang angsa putih itu
Semoga akupun bisa mengikuti jejak mereka
semoga aku bisa menemukan angsa putihku nanti
yang senantiasa bisa memahamiku apa adanya
dalam segala keterbatasanku,

Kupasrahkan semua padamu ya Rabb,

Rabu, 17 Februari 2010

GALUDRA

Bismillahirrahmanirraahiim...

Selama dua pekan kemarin aku melakukan pendampingan masyarakat di sebuah desa bernama Desa Galudra. Termasuk dalam lingkup administrasi Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur. Sebuah desa yang sangat indah, dengan berbagai potensi perkebunan yang begitu membuat hati ingin terus berlama-lama di desa itu. Tugasku di sana adalah sebagai pendamping Posdaya (Pos Pemberdayaan Keluarga), tepatnya Posdaya AN-NUUR Galudra. Posdaya ini merupakan salah satu binaan IPB dan Yayasan Dana Sejahtera Mandiri. Bertujuan untuk lebih memberdayakan masyarakat yang ada di sekitar lingkup Posdaya, khususnya dalam hal pendidikan, kewirausahaan, lingkungan, dan kesehatan.

Banyak hal telah kupelajari dari masyarakat sekitar, terutama belajar tentang kehidupan. Begitu polosnya masyarakat desa itu, betapa sulitnya akses menuju kesana. Begitu gigihnya setiap penduduk dalam memperjuangkan hidupnya, mulai dari orang dewasa sampai anak-anak tak terkecuali, namun tidak demikian dengan masalah pendidikan. Kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan begitu rendah. Orang tua lebih mendukung anaknya pergi ke kebun wortel, daun bawang, brokoli, cabai, ataupun kebun kubis untuk bercocok tanam daripada harus bersusah payah pergi sekolah. Mereka lebih memilih pasrah dengan garis takdirnya untuk tetap apa adanya, tak perlu anaknya harus bersekolah tinggi. Bahkan sudah menjadi suatu hal yang luar biasa bagiku apabila ada anak yang sampai lulus SD. Mungkin jemari tanganku pun rasanya mubazir untuk menghitung jumlah anak-anak yang melanjutkan sampai SMP. Entah kenapa masyarakat begitu sulit untuk diajak maju melalui pendidikan. Wanita di desa itu tak boleh pintar, karena paling hanya akan ke dapur nantinya. Apakah mereka tak tahu dan tak mau tahu program-program pemerintah untuk mencapai MDGS, serta tidak ingin membantu mewujudkan Indonesia yang bebas buta huruf? Segala kemungkinan pasti ada dan bisa saja terjadi. Tapi itu nanti sajalah kita bahas kawan.

Sekarang aku ingin coba beralih pada masalah lain dulu, mungkin bagi sebagian orang merupakan hal yang sensitif, karena ini menyangkut keyakinan yang mereka anut, dan termasuk juga aku di dalamnya. Dilihat dari segi keagamaan, masyarakat Jawa Barat khususnya Cianjur merupakan masyarakat yang terkenal sangat religius, begitu fanatik akan Islam sebagai kepercayaannya. Banyak ulama besar yang dibesarkan oleh Jawa Barat, sebut saja misalnya Aa Gym, KH. Didin Hafiduddin, Ust. Subhki Al Bughuri, dan banyak lagi yang lain. Mereka tentu sangat tak asing lagi di telinga kita kawan.. Namun, apa bedanya masyarakat galudra dengan para ulama terkemuka tersebut? Jawaban mendasar yang kukeluarkan adalah tentu saja mereka berbeda nasib, berbeda takdir hidup yang mereka jalani. Tapi bukan itu yang penting disoroti. Perlulah kita mencari tahu sebab musabab adanya perbedaan nasib tersebut. Sekali lagi aku bilang, nanti saja kita bahas itu kawan.. Aku ingin cerita dulu bagaimana kehidupan beragama masyarakat desa itu. Mereka begitu ingin mencontoh ajaran agama yang diturunkan nenek moyangnya, seperti kehidupan para wali terdahulu. Dalam ibadahnya begitu tradisional. Tak boleh ada speaker dalam masjid, sehingga tak pernah ada kumandang adzan terdengar di lingkungan desa. Sebelumnya bahkan listrik pun tak boleh mengalir dalam masjid, sehingga hanya ada lampu teplok sebagai penerangan masjid. Sungguh begitu kuat keinginan mereka mencontoh para wali. Orang yang beribadah solat di masjid harus memakai sarung, tak boleh ada celana panjang atau kau akan jadi bahan omongan. Ini pun terjadi padaku, beberapa kali aku solat berjamaah di masjid, banyak mata yang melihat padaku. Seakan aku orang asing yang tak pantas untuk masuk ke rumah ibadah mereka. Padahal kalau di kota memakai celana ke masjid sudah menjadi suatu hal yang wajar-wajar saja. Percayakah kau kawan? Itu terserahlah, yang jelas aku sudah melihat dan merasakannya langsung.

Masalah lain yang juga dirasakan masyarakat adalah dalam hal pelayanan kesehatan. Letak puskesmas dengan desa begitu jauh, akses ke sana pun sulit untuk dijangkau. Terlebih untuk potongan desa yang bernama Pasir Malang. Memang sangatlah malang desa itu. Tak ada mobil yang boleh masuk ke desa itu, karena memang tak ada akses jalan yang memungkinkan mobil untuk menuju kesana. Dari tempatku menginap di desa galudra tengah, dibutuhkan waktu lebih kurang 45 menit berjalan kaki untuk sampai ke Pasir Malang. Bisa saja memang naik motor, tapi hanya orang-orang ahli dan terlatih, biasa dengan jalanan off road yang rusak parah stadium 4 yang bisa melewati jalanan menuju Pasir Malang. Sedikit kau lupa menginjak rem atau terlepas tarikan gas motormu saat menanjak dan menurun, bersiaplah untuk terjun bebas meluncur ke jurang. Paling baik adalah kau akan tersangkut di dahan pohon tepi jurang, sedangkan motormu harus kau ikhlaskan pergi meninggalkanmu. Lalu bagaimana jika kau tersangkut, kemudian kau berteriak minta tolong, mungkin kau harus sabar sampai hanya ada Malaikat Izrail yang akan menolongmu.

Begitulah sulitnya akses kesana kawan, sehingga masyarakat sangatlah sulit untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang berhak mereka terima. Kabarnya sudah beberapa kali ada dokter yang ditugaskan di puskesmas desa. Dokter yang mendapatkan gelarnya di kota. Namun, ternyata mereka tak kuat. Mereka tak mampu bertahan lama mengabdi di desa itu. Maklumlah, dokter-dokter itu sudah terbiasa dengan kehidupan mewah di kota, jadi akan sangat sulit untuk beradaptasi hidup di desa yang belum pernah ada kata mewah dalam kamus kehidupan di sana. Sulit memang menemukan seorang dokter yang ikhlas mengabdi untuk masyarakat, yang tak peduli dimana mereka berada. Tapi aku percaya suatu saat nanti pasti akan ada orangnya, seorang dokter baik yang tanpa pernah pandang tempat, waktu, dan pasien. Seorang dokter yang menjadikan ilmu yang didapatnya sebagai ilmu yang bermanfaat. Semoga saja.

Keadaan tersebut seolah-olah sebagai pembenaran bahwa orang tak mampu tak boleh sakit. Mereka harus terus bisa hidup sehat. Bagi mereka, askeskin pun tak lebih dari sekedar kartu berwarna hijau yang sebenarnya mereka tah paham kegunaannya. Jika sakit bisa saja keluarga mereka tak bisa makan. Tahu kenapa? Karena keluarga mereka harus mengurusnya saat sakit sehingga tak bisa pergi ke kebun, tak ada hasil dari kebun yang bisa dijual untuk membeli beras. Lain lagi apabila ada ibu-ibu yang melahirkan. Paling mereka hanya ditolong oleh dukun beranak yang tak pernah mengenal bangku sekolah. Mana kenal mereka dengan istilah cesar, prematur, ikat kandungan, ataupun istilah sejenisnya.

Terlepas dari semua masalah itu, aku bersyukur melihat tingginya semangat yang terpancar dari anak-anak desa itu untuk bisa merasakan masa depan yang lebih baik. Aku menyebut mereka laskar pelangi jilid 2. Cerita yang mereka jalani memang amatlah mirip dengan cerita kecil andrea hirata. Hanya berbeda setting waktu, tempat, dan tokoh di dalamnya. Anak-anak di desa itu juga memiliki cita-cita yang tinggi seperti kebanyakan anak-anak lain di kota. Tepatnya mereka baru mulai berani bercita-cita tinggi. Tak ingin lagi hanya menjadi tukang cabut wortel di kebun, tak ingin lagi hanya sibuk membersihkan sayuran hasil panen untuk dijual ke pasar, mereka tak ingin lagi. Aku rasa mereka juga sudah bosan dengan kehidupan mereka yang serba susah.

Aku jadi bingung dan penasaran terhadap pemerintah, baik pusat maupun daerah. Mereka bilang anggaran pendidikan sudah mencapai 20 persen dari APBN, lalu kemanakah larinya uang tersebut? Kupikir sungguh aneh, untuk sebuah desa yang sudah memang sangat pantas dan membutuhkan dibangunnya sekolah, justru SD pun tak ada. Anak-anak harus menempuh perjalanan jauh meniti tepi jurang, merentas jalanan berbatu, melewati medan berat berlumpur. Tahun lalu pernah ada wacana akan dibangun SD di pinggir desa. Sudah disiapkan tanah hibah dari seorang dermawan yang tinggal di Jakarta. Masyarakat sepakat pembangunan gedungnya akan mengajukan dana pada pemerintah, dan salah satu tokoh desa pun mengsusulkan menggunakan dana PNPM. Hampir mendekati tanggal pengesahan proyek pembangunan tersebut, justru terjadi lempar tanggung jawab antara pengurus PNPM dengan Dinas Pendidikan. Pengurus PNPM merasa untuk membangun SD bukanlah tanggung jawab mereka, dan Dinas Pendidikan pun tak peduli dengan kondisi tersebut, tak ada pejabat atau petingginya yang datang menacairkan suasana. Akhirnya sampai sekaranglah belum sempat berdiri sebuah sekolah di desa itu. Mereka bapak-bapak berpakaian safari belum mau berkunjung ke desa itu.

Pak camat pun pernah berjanji akan berkunjung ke desa, tapi dia berpesan ke salah satu tokoh desa untuk tidak mengadakan penyambutan. Tahukah maksudnya kawan? Maksudnya adalah agar masyarakat tidak tahu kalau camat datang ke desa itu. Pak camat tidak mau menemui masyarakat desa. Dia bilang kalau bertemu masyarakat desa pasti akan ada banyak keluhan masalah. Aneh memang. Seorang pejabat yang diberi amanah untuk memimpin warganya justru tak mau berjumpa dengan warganya, walaupun hanya sekedar mendengarkan keluhan saja. Naudzubillah, semoga aku tak sampai demikian.

Semoga ini bisa menjadi bahan renungan bagi kita, betapa memang masih banyak masyarakat yang tidak seberuntung kita. Tak bolehlah kita menghianati amanah yang dipikulkan pada kita, khususnya dalam belajar. Semoga kita bisa banyak berkorban, apapun yang bisa kita berikan untuk sekitar kita. Tak perlulah kita menyalahkan pemerintah, yang katanya program 100 harinya tercapai lebih dari 90%. Kementerian Pendidikan gencar sekali mengkampanyekan program wajib belajar 9 tahun, entah itu 9 tahun untuk siapa. Kementerian Komunikasi dan Informasi yang kabarnya sudah melaksanakan 99,4% program 100 harinya, termasuk 25.000 desa berdering dan desa pinter (pakai internet), tak dirasakan oleh warga desa ini. Sekedar informasi tambahan kawan, bahwa di desa galudra belum ada saluran telepon yang tersambung, jadinya internet pun tak ada, bahkan sinyal HP saja terkadang ada terkadang tidak, tergantung kemana arah angin bertiup. Akhirnya begitulah nasih desa galudra. Masyarakat di sana belum terbuka dengan akses informasi luar, sehingga begitu tradisional termasuk dalam hal ibadah.

Kementerian PU yang begitu gencar membangun banyak jalan tol mewah, mungkin khilaf dengan kondisi jalan ayang ada di desa galudra, atau mereka merasa itu bukanlah tanggung jawabnya? Kementerian Kesehatan yang mentargetkan Indonesia sehat 2010. Di desa galudra ditemukan ada anak yang menderita gizi buruk, aku melihatnya secara langsung kawan, bahkan katanya sebelum aku datang ke desa itu sempat ada anak yang meninggal karena gizi buruk. Aku tahu memang negara ini begitu luas, sehingga mereka bapak dan ibu menteri sangatlah sibuk mengurusnya. Tapi aku pikir sungguh ironis, di sebuah desa yang letaknya tak jauh dari Bandung, Ibu Kota Jawa Barat masih ditemukan hal semacam itu. Bahkan desa itu cukup dekat juga dengan Jakarta. Atau mereka bapak dan ibu menteri sedang sibuk memikirkan isu resufhle kabinet? Entahlah, yang jelas aku mohon doanya semoga negara ini bisa menjadi negara yang lebih baik di segala bidang. Aamiin..

Pentingkah Menulis??

Sebuah pertanyaan sederhana yang kupikir pantas sebagai judul postingan awalku ini. Bagi sebagian orang pertanyaan tersebut mungkin sudah sering mereka dengar, dan kupikir mereka pasti sudah mendapatkan jawabannya, walaupun itu subjektif. Tentunya aku tak mau kalah dengan mereka, tepatnya tak boleh kalah.

Aku baru saja memberanikan diri untuk mulai menulis, mencoba untuk bisa menuangkan pikiran dan perasaanku dalam sebuah rangkain huruf dan kata. Agak sulit memang, mungkin juga sudah cukup terlambat, karena orang seumuranku harusnya minimal sudah menghasilkan satu karya, bisa seperti buku catatan harian, cerpen, novel, atau apapun itu. Terkadang aku jadi iri dengan teman-temanku yang sudah menerbitkan karya mereka, baik berupa artikel di koran maupun majalah, cerpen, dan bahkan ada yang sudah menrbitkan buku serta novel fiksi. Begitu luar biasanya mereka. Sekali lagi, aku tak mau kalah. Minimal aku hanya menulis di blog ini saja untuk konsumsi pribadi atau siapa saja yang berkenan membaca tulisan-tulisanku ini. InsyaAllah suatu hari nanti aku akan mengikuti jejak mereka yang sudah menelurkan karyanya dalam sebuah buku, sehingga dapat dinikmati banyak orang.

Ada yang berpendapat bahwa menulis adalah salah satu bukti eksistensi diri. Bahkan mungkin sebagai ajang bernarsis ria serta membanggakan diri. Sebuah tulisan juga dapat digunakan sebagai sarana untuk melakukan kritik dan masukan bagi para pelaku kesalahan. Tulisan juga bisa dijadikan sebagai jalan untuk mengutarakan rasa cinta pada seseorang, pada suatu hal, pada suatu kejadian. Inilah yang banyak dilakukan orang-orang dulu, dimana mereka mengungkapkan perasaan cintanya melalui surat yang langsung mereka tulis sendiri.

Bagiku, bisa jadi suatu hari nanti tulisan juga akan menjadi lokomotifku untuk membawa rangkaian perasaan yang terjalin indah dalam hatiku. InsyaAllah. Pokoknya mulai sekarang aku sempatkan sebisa mungkin untuk menulis. Apapun itu.