Laman

Rabu, 29 Desember 2010

SYAIR UNTUK SEORANG PETANI DARI WAIMITAL, PULAU SERAM, YANG PADA HARI INI PULANG KE ALMAMATERNYA

(dari Kembalikan Indonesia Kepadaku , TAUFIQ ISMAIL)
Darmaga, 22 September1979


I
Dia mahasiswa tingkat terakhir
ketika di tahun 1964 pergi ke pulau Seram
untuk tugas membina masyarakat tani di sana.
Dia menghilang
15 tahun lamanya.
Orangtuanya di Langsa
memintanya pulang.
IPB memanggilnya
untuk merampungkan studinya,
tapi semua
sia-sia.

II
Dia di Waimital jadi petani
Dia menyemai benih padi
Orang-orang menyemai benih padi
Dia membenamkan pupuk di bumi
Orang-orang membenamkan pupuk di bumi
Dia menggariskan strategi irigasi
Orang-orang menggali tali air irigasi
Dia menakar klimatologi hujan
Orang-orang menampung curah hujan
Dia membesarkan anak cengkeh
Orang kampung panen raya kebun cengkeh
Dia mengukur cuaca musim kemarau
Orang-orang jadi waspada makna bencana kemarau
Dia meransum gizi sapi Bali
Orang-orang menggemukkan sapi Bali
Dia memasang fondasi tiang lokal sekolah
Orang-orang memasang dinding dan atapnya
Dia mengukir alfabet dan mengamplas angka-angka
Anak desa jadi membaca dan menyerap matematika
Dia merobohkan kolom gaji dan karir birokrasi
Kasim Arifin, di Waimital
Jadi petani.

III
Dia berkaus oblong
Dia bersandal jepit
Dia berjalan kaki
20 kilo sehari
Sesudah meriksa padi
Dan tata palawija
Sawah dan ladang
Orang-orang desa
Dia melintas hutan
Dia menyeberang sungai
Terasa kelepak elang
Bunyi serangga siang
Sengangar tengah hari
Cericit tikus bumi
Teduh pohonan rimba
Siang makan sagu
Air sungai jernih
Minum dan wudhukmu
Bayang-bayang miring
Siul burung tekukur
Bunga alang-alang
Luka-luka kaki
Angin sore-sore
Mandi gebyar-gebyur
Simak suara azan
Jamaah menggesek bumi
Anak petani mengaji
Ayat-ayat alam
Anak petani diajarnya
Logika dan matematika
Lampu petromaks bergoyang
Angin malam menggoyang
Kasim merebah badan
Di pelupuh bambu
Tidur tidak berkasur.

IV
Dia berdiri memandang ladang-ladang
Yang ditebas dari hutan rimba
Di kakinya terjepit sepasang sandal
Yang dipakainya sepanjang Waimital
Ada bukit-bukit yang dulu lama kering
Awan tergantung di atasnya
Mengacungkan tinju kemarau yang panjang
Ada bukit-bukit yang kini basah
Dengan wana sapuan yang indah
Sepanjang mata memandang
Dan perladangan yang sangat panjang
Kini telah gembur, air pun berpacu-pacu
Dengan sepotong tongkat besar, tiga tahun lamanya
Bersama puluhan transmigran
Ditusuk-tusuknya tanah kering kerontang
Dikais-kaisnya tanah kering kerontang
Dan air pun berpacu-pacu
Delapan kilometer panjangnya
Tanpa mesin-mesin, tiada anggaran belanja
Mengairi tanah 300 hektar luasnya
Kulihat potret dirimu, Sim, berdiri di situ
Muhammad Kasim Arifin, di sana,
Berdiri memandang ladang-ladang
Yang telah dikupasnya dari hutan rimba
Kini sekawanan sapi Bali mengibas-ngibaskan ekor
Di padang rumput itu
Rumput gajah yang gemuk-gemuk
Sayur-mayur yang subur-subur
Awan tergantung di atas pulau Seram
Dikepung lautan biru yang amat cantiknya
Dari pulau itu, dia telah pulang
Dia yang dikabarkan hilang
Lima belas tahun lamanya
Di Waimital Kasim mencetak harapan
Di kota kita mencetak keluhan
(Aku jadi ingat masa kita diplonco
Dua puluh dua tahun yang lalu)
Dan kemarin, di tepi kali Ciliwung aku berkaca
Kulihat mukaku yang keruh dan leherku yang berdasi
Kuludahi bayanganku di air itu karena rasa maluku
Ketika aku mengingatmu, Sim
Di Waimital engkau mencetak harapan
Di kota, kami …
Padahal awan yang tergantung di atas Waimital, adalah
Awan yang tergantung di atas kota juga
Kau kini telah pulang
Kami memelukmu.
============ ========= ========= ========= ========= ========= ========= ======

Catatan:
Bagian IV syair puisi ini dibacakan oleh sahabatnya, yakni Bpk Taufiq Ismail,
pada hari wisuda Institut Pertanian Bogor di kampus Darmaga, Sabtu, 22 September 1979,
sesudah Antua M. Kasim Arifin (lahir Langsa-Aceh Timur, 18 April 1938) menerima gelar Insinyur Pertanian.
Sebelumnya, Kasim yang sudah 15 tahun dikabarkan hilang (sejak melaksanakan Kuliah Kerja Nyata thn 1964
untuk memperkenalkan program Panca Usaha Tani) tapi ternyata menanam akar di Waimital – Maluku,
sehingga enggan memenuhi panggilan Rektor Prof. Dr. Ir. Andi Hakim Nasoetion.
Pada kali ketiga kedatangan utusan Rektor, yaitu sahabatnya Saleh Widodo, baru Kasim mau datang ke Bogor.
Dia terharu karena penghargaan alma maternya, tapi pada hakekatnya dia tidak memerlukan gelar akademik.
Pada hari wisuda itu Kasim yang berbelas tahun berkaus oblong dan bersandal jepit saja,
kegerahan karena mengenakan jas, dasi dan sepatu, hadiah patungan sahabat-sahabatnya.
Mahasiswa-mahasiswa IPB mengerubunginya selalu dan mengaguminya
sebagai teladan keikhlasan pengamalan ilmu pertanian di pedesaan.
Berbagai tawaran pekerjaan disampaikan padanya, tapi dia kembali lagi ke desa Waimital sesudah wisuda.
Kemudian sesudah itu dia menerima pekerjaan sebagai dosen di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, di tanah asalnya (pensiun tahun 1994)
Tawaran meninjau pertanian di Amerika Serikat ditolaknya.
Ketika ditanya kenapa kesempatan jalan-jalan ke A.S. itu tak diterimanya, sambil tertawa Kasim berkata bahwa pertama-tama jangankan bahasa Inggris, bahasa Indonesianya saja sudah banyak lupa.
Kemudian yang penting lagi, katanya, apa manfaatnya meninjau pertanian di sana, yang berbeda sekali dengan pertanian kita di sini. Kesempatan meninjau sambil liburan tamasya ke A.S. itu tak menarik hatinya..

WAHAI NEGERI, BERI KESEMPATAN BAGI KAMI UNTUK TIDAK PERNAH PUTUS ASA MENCINTAI NEGERI INI….INDONESIA! !

====


(ngopi dari blog tetangga)

Senin, 24 Mei 2010

Ainun, Istri dan Dokter Habibie (dari Kompas.com)

JAKARTA, KOMPAS.com - Kehadiran sosok Ainun Habibie semasa hidupnya dinilai mempunyai arti tersendiri sebagai istri maupun ibu teladan. Setidaknya pengakuan ini disampaikan oleh promotor musik terkemuka Adrie Soebono yang adalah keponakan mantan Presiden RI BJ Habibie atau anak kakak tertua BJ Habibie di kediaman duka di Patra Kuningan XIII, No. 1, Jakarta. .

Adrie Soebono mengaku pernah dididik oleh Ibu Ainun sejak umur 14 tahun saat ia menetap selama 8 tahun di Jerman. "Enggak pernah sekalipun diomelin justru saya disayang padahal saya lagi bandel-bandelnya," ujar Adrie Soebono

"Bu Ainun ini cantik sekali waktu mudanya. Tahun 1962, dia pacaran dengan Pak Habibie di rumah orang tua saya," tambahnya.

"Pak Habibie ini enggak bisa lepas dari Ibu Ainun, mereka pasangan yang sangat serasi. Ke mana-mana selalu berdua. Selama Ibu Ainun sakit, Pak Habibie selalu ada di samping, dia enggak pernah ninggalin rumah sakit."

Adrie Soebono justru saat ini khawatir dengan kondisi kesehatan Habibie. Ini karena Ibu Ainun yang pernah berprofesi sebagai dokter semasa hidupnya merupakan orang yang mengendalikan obat-obat yang biasa dikonsumsi Habibie.

Adrie Soebono mengaku terakhir kali bertemu Ibu Ainun 2 bulan lalu sebelum beliau berangkat berobat ke Jerman. Menurut Adrie Soebono, Ibu Ainun saat itu tidak pernah mengeluh sedikit pun walaupun mengidap penyakit.

Saya menyesal saat-saat terakhir ini enggak di Jerman. Rencananya minggu depan mau ke Jerman tapi ada pekerjaan yang enggak bisa saya tinggalin.

"Yang lucu saat ketemu terakhir saya masih dianggap anak kecil padahal sayasudah tua begini," demikian dikisahkan Adrie Soebono.

Pesawat Garuda Indonesia yang khusus diterbangkan untuk menjemput jenazah Ibu Ainun bertolak dari Jakarta besok dan dijadwalkan tiba di Jerman Senin. Pesawat ini dijadwalkan bertolak dari Jerman Selasa dan tiba kembali di Jakarta Rabu pagi

Sabtu, 20 Maret 2010

Bukan Sengaja Canda Itu

Memang dasar aku suka iseng. Lebih parah lagi keisenagnku ga liat2 tempat, ga liat sama siapa yang aku isengin. Emang dasarnya suka bercanda. Aku anggap setiap orang sama untuk bisa diajak bercanda. Kupikir selama dia kenal aku, aku kenal dia, kemungkinan besar 99,99% bisa aku ajak bercanda.

Tapi teori ku salah. Setiap orang memiliki karakter masing-masing. Ada yang kuat, biasa saja tanggapannya dengan candaan yg juga kuanggap biasa. Aku tak akan pernah bermasalah dengan tipe orang seperti itu dalam candaanku. Justru malah ada sebagian yang senang, tertawa sendiri bahkan menularkan pada temannya yang lain.

Yang membuatku gelisah adalah untuk yang tak suka dengan candaanku. Yang menurut mereka tidak pas, tidak tepat. Mungkin suasana hati mereka memang sedang tidak cocok untuk diajak bercanda. Mungkin sedang tak ingin tersenyum kali ya??!! Entah lah, hanya mreka dan Allah saja yang tahu suasana hatinya.

Ini juga lah yang membuatku sampai membuat posting tulisan ini. Ingin bebagi cerita saja pada yang membaca tulisan ini. Yang harus digarisbawahi dan dicetak tebal adalah, jangan pernah menganggap sama setiap orang dalam candaan. setiap orang sudah memiliki karakter masing-masing. Tak tepat kalau bercanda dengan mereka yang suasana hatinya sedang tak baik. Nah kalau untuk yang kedua ini memang agak sulit, apalagi kalau kita cuma lagi komunikasi lewat chat FB.. Aku belum tahu bagaimana solusi untuk yang kedua ini.

Melalui tulisan ini juga aku ingin meminta maaf untuk semua teman & sahabat yang pernah merasa aku sakiti karena candaanku. Tak pernah ada maksudku untuk menyakiti atau membuat goresan kasar pada hati kalian. Maksudku hanyalah hanya sekedar ingin mencairkan suasana saja. Hanya ingin membuat kalian tersenyum. Tapi ternyata salah kalau aku menganggap semuanya sama. Sekali lagi aku mohon ampun kalau memang telah menyakiti pereasaan kalian. Mohon maaf beribu kali maaf. Kalau teman2 berfikir tak ada manusia yang sempurna, tak bisa disamakan karakter setiap orang, aku juga bukan orang yang sama dengan yang lain. Aku mungkin orang yang sering keterusan kalau bercanda.
Sekali lagi tapi bukan yang terakhir, aku mohon maaf kalau sudah menyakiti hati teman2 dan sahabatku.

Jumat, 05 Maret 2010

Sahabatku Terlebih Dulu Pergi Meninggalkanku

Hari itu Kamis malam tanggal 28 Januari 2010. Aku dan teman kelompok tugas mata kuliah Perancangan Pabrik sibuk menyelesaikan perbaikan tugas akhir yang diberikan bu Erliza Noor, yang harus dikumpul keesokan harinya. Kami menyelesaikan tugas tersebut di sekretariat Himalogin sampai tak terasa hampir jam sebelas malam. Kontan aku berfikir kostan siapa kira-kira yang akan kujadikan tempat menginap malam itu. Karena seperti biasanya, kalau aku baru selesai menggarap tugas melebihi jam malam asrama, kemungkinan besar aku pasti tak akan tidur di asrama untuk malam tersebut.

Bukan karena tidak boleh masuk asrama, bukan pula karena aku akan diusir oleh satpam ataupun penghuni lain, tapi lebih karena alasan moral (enak - tidak enak). Aku tidak enak kepada satpam yang berjaga malam itu, sebab aku sering mewanti-wanti adik-adik asrama untuk tidak pulang melewati jam malam, dan tak jarang pula aku menghukum adik-adik yang pulang lewat jam malam. Makanya, kalau aku pulang melewati jam malam, berarti aku mencontohkan tidak baik untuk adik-adik asrama, berarti aku pun terpaksa melanggar kata-kata yang sering aku ajarkan untuk adik-adik asrama, untuk tidak pulang melewati jam malam.

Malam itu tak seperti malam biasanya. Perasaanku aneh. Aku selalu ingin segera pulang ke asrama. Padahal hari itu sudah masuk hari liburan semester, jadi sedang tidak ada kegiatan yang menantiku di asrama. Selesai membereskan tugas aku langsung berjalan kaki pulang ke asrama, melewati koridor-koridor fakultas yang sepi, tak ada aktivitas rapat ataupun belajar bareng seperti malam-malam perkuliahan. Suasana itu menambah semakin aneh perasaanku, yang lebih mengarah pada rasa melankolis.

Setibanya di pintu gerbang asrama putra, tiga orang satpam jaga terlihat membicarakan sesuatu hal yang serius. Baru tiga langkah aku melewati gerbang, Catur datang menyambutku. Wajahnya terlihat begitu sedih. Dia segera menyalamiku dan menanyaiku satu hal yang sebaiknya tak usah aku tahu.

“Sudah dapat kabar tentang Ginanjar?..”Tanyanya padaku.

“Kabar apa? Emang Ginanjar kenapa, bukannya tadi dia pulang ke rumahnya?” balasku.

“Katanya Ginanjar kecelakaan.”

“Dimana,,? trus sekarang gimana keadaannya?” tanyaku dengan rasa sedih bercampur penasaran.

“Iya, katanya kecelakaan di Depok. Trus..” Catur berhenti sejenak.

“Katanya.. meninggal...”lanjutnya.

INNA LILLAAHI WA INNAA.. ILAIHI RAAJI'UUN....”

Tiba-tiba hatiku mendung, terasa bagaikan akan turun hujan deras disertai angin kencang. Terjawab sudah pertanyaan kenapa perasaanku malam itu sangat aneh. Kabar tidak mengenakkan datang kepadaku dan keluarga besar asrama. Sahabat sekaligus keluargaku di asrama telah pergi terlebih dulu meninggalkanku. Tak ada lagi candanya yang mewarnai keseharianku dan rekan-rekan SR lain di asrama. Kami merasa begitu kehilangan.

Usai mendapat kabar itu aku dan SR putra yang lain langsung menuju Rumah Sakit Sentra Medika. Pak Irmansyah dan Pak Bonny juga turut serta mendampingi kami. Kami berangkat menggunakan mobil Kijang asrama dan Inova merah milik Pak Bonny, serta tambahan mobil Ambulance asrama. Perjalanan kami sangat lancar. Jalanan sudah sepi mendekati tengah malam itu.

Sampai di halaman parkir rumah sakit sudah ada dua polisi yang berjaga. Mereka kemudian mengantar kami ke tempat jenazah. Kesunyian menyelimuti kami. Kami berjalan semakin mendekati tempat jenazah. Terlihat sesosok tubuh tertutupi kain putih, membujur di atas ranjang rumah sakit. Salah satu polisi menawarkan kami untuk melihat tubuh dibalik kain puti itu.

“Boleh lihat.. Tapi kalau yang tidak kuat mending tidak usah lihat.!”

Aku berdiri sekitar tiga meter darinya, tak berani mendekat lagi. Hanya beberapa teman SR yang berani mendekat. Polisi itu membuka kain putih secara perlahan.

Kontan suasana yang mulanya sunyi menjadi ramai dengan tangis. Kulihat seseorang yang pernah kukenal tertidur di balik kain putih itu. Kepalanya dibalut perban, basah dengan warna merah. Wajahnya sudah lebam hampir tak dikenali. Darah masih mengalir dari kedua telinganya.

Tangisku pun kembali pecah. Aku tak kuat melihat tubuh itu. Aku segera keluar ruangan, duduk dibangku dekat ruang itu. Kututupi wajahku dengan kedua tanganku. Kuhabiskan air mataku di tempat itu.

“Astagfirullah.. Astagfirullahaladziim.. Astagfirullahaladziim..” Berkali-kali kubaca istigfar untuk meredakan emosiku. Kubaca terus sampai air mataku tak lagi mengalir.

Kami menunggu sampai jenazah selesai dimandikan pengurus rumah sakit, setelah dipersilakan oleh pihak keluarga Ginanjar. Setelah itu kami langsung meluncur menuju rumah duka di Kampung Makasar, Jakarta Timur. Jenazah dibawa mobil ambulance asrama. Untuk pertama kalinya aku satu mobil dengan jenazah, tapi tak kurasakan ada suasana menyeramkan disana.

Sekitar jam dua malam kami sampai di rumah duka. Jenazah langsung dibaringkan di dalam rumah. Aku dan teman-teman SR lain pun kemudian menunggu di mushala sambil solat malam. Pemakaman rencananya dilangusngkan setelah solat Jum’at. Kuadukan semua perasaanku pada Allah. Aku berdoa sebisa aku bisa. Mataku kembali basah. Perasaanku begitu sendu. Gemerlap bintang malam yang terang, indah terlihat oleh orang lain, namun bagiku sangatlah suram, mereka terlihat muram, gelap tak terlihat.

Usai solat Jum’at, jenazah sekalian disolatkan oleh ratusan jamaah yang hadir. Isak tangis kembali terdengar dari beberapa jamaah yang ikut menyolatkan. Jamaah meng-aminkan doa yang dibacakan imam setelah solat.

Jenazah diberangkatkan menuju pemakaman Cilangkap diantar ratusan orang. Ada tiga kopaja, dua bus kecil IPB, tiga mobil pribadi, serta puluhan motor. Almarhum Ginanjar adalah orang besar, sehingga begitu banyak orang yang mengiringi kepergiannya. Dia telah membawa banyak perubahan, khususnya di asrama. Kepergiannya diiringi isak tangis banyak orang. Itu menandakan dia begitu dicintai banyak orang di sekitarnya.

Kini tak ada lagi canda seperti dulu yang mewarnai sekretariat SR asrama putra. Salah satu candanya yang kuingat adalah berbicara tentang pernikahan. Beberapa kali dia menceritakan kisah-kisah lucu pernikahan, apalagi waktu kami menghadiri pernikahan Mba Demi di Bekasi. Sepanjang perjalanan di mobil dia menghibur kami dengan cerita-cerita lucunya, sekali lagi tentang pernikahan. Dia begitu ingin menikah tak lama setelah lulus kuliah. Dia bilang ingin segera menyempurnakan separuh agamannya bersama seorang bidadari dunia.

Namun, Allah keburu memanggilnya ke tempat terbaik-Nya. Dia justru mendapatkan kenikmatan yang lebih indah dari bidadari dunia. Pasti sekarang dia sedang berbincang dengan bidadari calon mempelainya. Kembali bercanda dengan candaan yang terjaga.

Sahabatku Ginanjar Febrianto, doa kami menyertaimu...

Sabtu, 27 Februari 2010

Berharap Dia Pun Tahu

Aku sudah mulai terbiasa. Semua yang mengganggu hatiku sudah hampir dapat kukendalikan sepenuhnya. Tak apalah tak ada perjumpaan. Tak masalah walau tak ada sapa dalam sisa hari ini. Paling aku hanya bisa berkirim pesan melalui orang lain. Tak lebih dari itu.

Aku hanya bisa mengadu. Hanya pada Allah tentunya. Dalam sisa malam hampir setiap harinya.

Aku hanya bisa mencurahkan semua melalui tulisan ini. Tak lebih kuberharap. Hanya ingin dia tahu bagaimana rasaku ini. Sukur-sukur dia pun merasakan hal yang sama denganku.

Belum pantas memang kuutarakan semua. Mungkin aku berharap terlalu muluk-muluk. Bermimpi mendapat sesuatu yang tak mungkin kudapat. Kata pepatah, bagaikan punguk merindukan bulan. Tapi apa salahnya kalau cuma sekedar meluapkan kerinduan, walaupun memang hanya sekedar kerinduan sampai ujung hariku.

Terakhir kalinya aku berharap semoga dia tahu bagaimana rasaku ini. Sebenarnya aku masih ingin membuka ruang hatiku untuk yang lain. Tapi aku tak kuasa membukanya, hanya dia yang tahu kode kombinasi untuk membuka kunci pengaman dalam hatiku. Pernah coba kudobrak, tapi aku tak mampu. Itu malah hanya melukai diriku sendiri.

Satu keniscayaan yang kuyakini adalah, bahwa Allah telah mengatur semuanya. Dia telah menuliskan jalanku dalam Lauhul Mahfudz. Aku pun tak tahu bagaimana kelanjutan kisahku ini. Yang jelas aku berharap ada kebahagiaan dalam akhirnya, walau hanya sebentar kurasa. Aku sangat berharap lebih, mendapatkan kebahagiaan berjumpa dengan-Nya, ditemani bidadari-bidadari di tempat terbaik yang telah disediakan-Nya. Menikmati segala sajian yang telah dihidangkan-Nya. Aku sangat mengharapkannya. Berjumpa dengan-Nya setiap hari, dengan keadaan terbaikku.

Senin, 22 Februari 2010

Sepasang Angsa Putih Itu


Beraromakan Kesucian
Penuh Penghargaan dan Penghormatan
Saling Mencintai dengan Ketulusan

Aku begitu iri melihat kedua angsa putih itu
Jalinan Kasihnya Tampak Mempesona
Bukan Mereka Saja yang merasakan
Tapi Orang yang melihatnyapun pasti tahu
Betapa besarnya rasa cinta mereka,
Mereka tampak Begitu Setia,

paduan kedua leher itu,,
membentuk lambang hati simbol cinta mereka
aku begitu iri pada sepasang angsa putih itu
Semoga akupun bisa mengikuti jejak mereka
semoga aku bisa menemukan angsa putihku nanti
yang senantiasa bisa memahamiku apa adanya
dalam segala keterbatasanku,

Kupasrahkan semua padamu ya Rabb,

Rabu, 17 Februari 2010

GALUDRA

Bismillahirrahmanirraahiim...

Selama dua pekan kemarin aku melakukan pendampingan masyarakat di sebuah desa bernama Desa Galudra. Termasuk dalam lingkup administrasi Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur. Sebuah desa yang sangat indah, dengan berbagai potensi perkebunan yang begitu membuat hati ingin terus berlama-lama di desa itu. Tugasku di sana adalah sebagai pendamping Posdaya (Pos Pemberdayaan Keluarga), tepatnya Posdaya AN-NUUR Galudra. Posdaya ini merupakan salah satu binaan IPB dan Yayasan Dana Sejahtera Mandiri. Bertujuan untuk lebih memberdayakan masyarakat yang ada di sekitar lingkup Posdaya, khususnya dalam hal pendidikan, kewirausahaan, lingkungan, dan kesehatan.

Banyak hal telah kupelajari dari masyarakat sekitar, terutama belajar tentang kehidupan. Begitu polosnya masyarakat desa itu, betapa sulitnya akses menuju kesana. Begitu gigihnya setiap penduduk dalam memperjuangkan hidupnya, mulai dari orang dewasa sampai anak-anak tak terkecuali, namun tidak demikian dengan masalah pendidikan. Kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan begitu rendah. Orang tua lebih mendukung anaknya pergi ke kebun wortel, daun bawang, brokoli, cabai, ataupun kebun kubis untuk bercocok tanam daripada harus bersusah payah pergi sekolah. Mereka lebih memilih pasrah dengan garis takdirnya untuk tetap apa adanya, tak perlu anaknya harus bersekolah tinggi. Bahkan sudah menjadi suatu hal yang luar biasa bagiku apabila ada anak yang sampai lulus SD. Mungkin jemari tanganku pun rasanya mubazir untuk menghitung jumlah anak-anak yang melanjutkan sampai SMP. Entah kenapa masyarakat begitu sulit untuk diajak maju melalui pendidikan. Wanita di desa itu tak boleh pintar, karena paling hanya akan ke dapur nantinya. Apakah mereka tak tahu dan tak mau tahu program-program pemerintah untuk mencapai MDGS, serta tidak ingin membantu mewujudkan Indonesia yang bebas buta huruf? Segala kemungkinan pasti ada dan bisa saja terjadi. Tapi itu nanti sajalah kita bahas kawan.

Sekarang aku ingin coba beralih pada masalah lain dulu, mungkin bagi sebagian orang merupakan hal yang sensitif, karena ini menyangkut keyakinan yang mereka anut, dan termasuk juga aku di dalamnya. Dilihat dari segi keagamaan, masyarakat Jawa Barat khususnya Cianjur merupakan masyarakat yang terkenal sangat religius, begitu fanatik akan Islam sebagai kepercayaannya. Banyak ulama besar yang dibesarkan oleh Jawa Barat, sebut saja misalnya Aa Gym, KH. Didin Hafiduddin, Ust. Subhki Al Bughuri, dan banyak lagi yang lain. Mereka tentu sangat tak asing lagi di telinga kita kawan.. Namun, apa bedanya masyarakat galudra dengan para ulama terkemuka tersebut? Jawaban mendasar yang kukeluarkan adalah tentu saja mereka berbeda nasib, berbeda takdir hidup yang mereka jalani. Tapi bukan itu yang penting disoroti. Perlulah kita mencari tahu sebab musabab adanya perbedaan nasib tersebut. Sekali lagi aku bilang, nanti saja kita bahas itu kawan.. Aku ingin cerita dulu bagaimana kehidupan beragama masyarakat desa itu. Mereka begitu ingin mencontoh ajaran agama yang diturunkan nenek moyangnya, seperti kehidupan para wali terdahulu. Dalam ibadahnya begitu tradisional. Tak boleh ada speaker dalam masjid, sehingga tak pernah ada kumandang adzan terdengar di lingkungan desa. Sebelumnya bahkan listrik pun tak boleh mengalir dalam masjid, sehingga hanya ada lampu teplok sebagai penerangan masjid. Sungguh begitu kuat keinginan mereka mencontoh para wali. Orang yang beribadah solat di masjid harus memakai sarung, tak boleh ada celana panjang atau kau akan jadi bahan omongan. Ini pun terjadi padaku, beberapa kali aku solat berjamaah di masjid, banyak mata yang melihat padaku. Seakan aku orang asing yang tak pantas untuk masuk ke rumah ibadah mereka. Padahal kalau di kota memakai celana ke masjid sudah menjadi suatu hal yang wajar-wajar saja. Percayakah kau kawan? Itu terserahlah, yang jelas aku sudah melihat dan merasakannya langsung.

Masalah lain yang juga dirasakan masyarakat adalah dalam hal pelayanan kesehatan. Letak puskesmas dengan desa begitu jauh, akses ke sana pun sulit untuk dijangkau. Terlebih untuk potongan desa yang bernama Pasir Malang. Memang sangatlah malang desa itu. Tak ada mobil yang boleh masuk ke desa itu, karena memang tak ada akses jalan yang memungkinkan mobil untuk menuju kesana. Dari tempatku menginap di desa galudra tengah, dibutuhkan waktu lebih kurang 45 menit berjalan kaki untuk sampai ke Pasir Malang. Bisa saja memang naik motor, tapi hanya orang-orang ahli dan terlatih, biasa dengan jalanan off road yang rusak parah stadium 4 yang bisa melewati jalanan menuju Pasir Malang. Sedikit kau lupa menginjak rem atau terlepas tarikan gas motormu saat menanjak dan menurun, bersiaplah untuk terjun bebas meluncur ke jurang. Paling baik adalah kau akan tersangkut di dahan pohon tepi jurang, sedangkan motormu harus kau ikhlaskan pergi meninggalkanmu. Lalu bagaimana jika kau tersangkut, kemudian kau berteriak minta tolong, mungkin kau harus sabar sampai hanya ada Malaikat Izrail yang akan menolongmu.

Begitulah sulitnya akses kesana kawan, sehingga masyarakat sangatlah sulit untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang berhak mereka terima. Kabarnya sudah beberapa kali ada dokter yang ditugaskan di puskesmas desa. Dokter yang mendapatkan gelarnya di kota. Namun, ternyata mereka tak kuat. Mereka tak mampu bertahan lama mengabdi di desa itu. Maklumlah, dokter-dokter itu sudah terbiasa dengan kehidupan mewah di kota, jadi akan sangat sulit untuk beradaptasi hidup di desa yang belum pernah ada kata mewah dalam kamus kehidupan di sana. Sulit memang menemukan seorang dokter yang ikhlas mengabdi untuk masyarakat, yang tak peduli dimana mereka berada. Tapi aku percaya suatu saat nanti pasti akan ada orangnya, seorang dokter baik yang tanpa pernah pandang tempat, waktu, dan pasien. Seorang dokter yang menjadikan ilmu yang didapatnya sebagai ilmu yang bermanfaat. Semoga saja.

Keadaan tersebut seolah-olah sebagai pembenaran bahwa orang tak mampu tak boleh sakit. Mereka harus terus bisa hidup sehat. Bagi mereka, askeskin pun tak lebih dari sekedar kartu berwarna hijau yang sebenarnya mereka tah paham kegunaannya. Jika sakit bisa saja keluarga mereka tak bisa makan. Tahu kenapa? Karena keluarga mereka harus mengurusnya saat sakit sehingga tak bisa pergi ke kebun, tak ada hasil dari kebun yang bisa dijual untuk membeli beras. Lain lagi apabila ada ibu-ibu yang melahirkan. Paling mereka hanya ditolong oleh dukun beranak yang tak pernah mengenal bangku sekolah. Mana kenal mereka dengan istilah cesar, prematur, ikat kandungan, ataupun istilah sejenisnya.

Terlepas dari semua masalah itu, aku bersyukur melihat tingginya semangat yang terpancar dari anak-anak desa itu untuk bisa merasakan masa depan yang lebih baik. Aku menyebut mereka laskar pelangi jilid 2. Cerita yang mereka jalani memang amatlah mirip dengan cerita kecil andrea hirata. Hanya berbeda setting waktu, tempat, dan tokoh di dalamnya. Anak-anak di desa itu juga memiliki cita-cita yang tinggi seperti kebanyakan anak-anak lain di kota. Tepatnya mereka baru mulai berani bercita-cita tinggi. Tak ingin lagi hanya menjadi tukang cabut wortel di kebun, tak ingin lagi hanya sibuk membersihkan sayuran hasil panen untuk dijual ke pasar, mereka tak ingin lagi. Aku rasa mereka juga sudah bosan dengan kehidupan mereka yang serba susah.

Aku jadi bingung dan penasaran terhadap pemerintah, baik pusat maupun daerah. Mereka bilang anggaran pendidikan sudah mencapai 20 persen dari APBN, lalu kemanakah larinya uang tersebut? Kupikir sungguh aneh, untuk sebuah desa yang sudah memang sangat pantas dan membutuhkan dibangunnya sekolah, justru SD pun tak ada. Anak-anak harus menempuh perjalanan jauh meniti tepi jurang, merentas jalanan berbatu, melewati medan berat berlumpur. Tahun lalu pernah ada wacana akan dibangun SD di pinggir desa. Sudah disiapkan tanah hibah dari seorang dermawan yang tinggal di Jakarta. Masyarakat sepakat pembangunan gedungnya akan mengajukan dana pada pemerintah, dan salah satu tokoh desa pun mengsusulkan menggunakan dana PNPM. Hampir mendekati tanggal pengesahan proyek pembangunan tersebut, justru terjadi lempar tanggung jawab antara pengurus PNPM dengan Dinas Pendidikan. Pengurus PNPM merasa untuk membangun SD bukanlah tanggung jawab mereka, dan Dinas Pendidikan pun tak peduli dengan kondisi tersebut, tak ada pejabat atau petingginya yang datang menacairkan suasana. Akhirnya sampai sekaranglah belum sempat berdiri sebuah sekolah di desa itu. Mereka bapak-bapak berpakaian safari belum mau berkunjung ke desa itu.

Pak camat pun pernah berjanji akan berkunjung ke desa, tapi dia berpesan ke salah satu tokoh desa untuk tidak mengadakan penyambutan. Tahukah maksudnya kawan? Maksudnya adalah agar masyarakat tidak tahu kalau camat datang ke desa itu. Pak camat tidak mau menemui masyarakat desa. Dia bilang kalau bertemu masyarakat desa pasti akan ada banyak keluhan masalah. Aneh memang. Seorang pejabat yang diberi amanah untuk memimpin warganya justru tak mau berjumpa dengan warganya, walaupun hanya sekedar mendengarkan keluhan saja. Naudzubillah, semoga aku tak sampai demikian.

Semoga ini bisa menjadi bahan renungan bagi kita, betapa memang masih banyak masyarakat yang tidak seberuntung kita. Tak bolehlah kita menghianati amanah yang dipikulkan pada kita, khususnya dalam belajar. Semoga kita bisa banyak berkorban, apapun yang bisa kita berikan untuk sekitar kita. Tak perlulah kita menyalahkan pemerintah, yang katanya program 100 harinya tercapai lebih dari 90%. Kementerian Pendidikan gencar sekali mengkampanyekan program wajib belajar 9 tahun, entah itu 9 tahun untuk siapa. Kementerian Komunikasi dan Informasi yang kabarnya sudah melaksanakan 99,4% program 100 harinya, termasuk 25.000 desa berdering dan desa pinter (pakai internet), tak dirasakan oleh warga desa ini. Sekedar informasi tambahan kawan, bahwa di desa galudra belum ada saluran telepon yang tersambung, jadinya internet pun tak ada, bahkan sinyal HP saja terkadang ada terkadang tidak, tergantung kemana arah angin bertiup. Akhirnya begitulah nasih desa galudra. Masyarakat di sana belum terbuka dengan akses informasi luar, sehingga begitu tradisional termasuk dalam hal ibadah.

Kementerian PU yang begitu gencar membangun banyak jalan tol mewah, mungkin khilaf dengan kondisi jalan ayang ada di desa galudra, atau mereka merasa itu bukanlah tanggung jawabnya? Kementerian Kesehatan yang mentargetkan Indonesia sehat 2010. Di desa galudra ditemukan ada anak yang menderita gizi buruk, aku melihatnya secara langsung kawan, bahkan katanya sebelum aku datang ke desa itu sempat ada anak yang meninggal karena gizi buruk. Aku tahu memang negara ini begitu luas, sehingga mereka bapak dan ibu menteri sangatlah sibuk mengurusnya. Tapi aku pikir sungguh ironis, di sebuah desa yang letaknya tak jauh dari Bandung, Ibu Kota Jawa Barat masih ditemukan hal semacam itu. Bahkan desa itu cukup dekat juga dengan Jakarta. Atau mereka bapak dan ibu menteri sedang sibuk memikirkan isu resufhle kabinet? Entahlah, yang jelas aku mohon doanya semoga negara ini bisa menjadi negara yang lebih baik di segala bidang. Aamiin..

Pentingkah Menulis??

Sebuah pertanyaan sederhana yang kupikir pantas sebagai judul postingan awalku ini. Bagi sebagian orang pertanyaan tersebut mungkin sudah sering mereka dengar, dan kupikir mereka pasti sudah mendapatkan jawabannya, walaupun itu subjektif. Tentunya aku tak mau kalah dengan mereka, tepatnya tak boleh kalah.

Aku baru saja memberanikan diri untuk mulai menulis, mencoba untuk bisa menuangkan pikiran dan perasaanku dalam sebuah rangkain huruf dan kata. Agak sulit memang, mungkin juga sudah cukup terlambat, karena orang seumuranku harusnya minimal sudah menghasilkan satu karya, bisa seperti buku catatan harian, cerpen, novel, atau apapun itu. Terkadang aku jadi iri dengan teman-temanku yang sudah menerbitkan karya mereka, baik berupa artikel di koran maupun majalah, cerpen, dan bahkan ada yang sudah menrbitkan buku serta novel fiksi. Begitu luar biasanya mereka. Sekali lagi, aku tak mau kalah. Minimal aku hanya menulis di blog ini saja untuk konsumsi pribadi atau siapa saja yang berkenan membaca tulisan-tulisanku ini. InsyaAllah suatu hari nanti aku akan mengikuti jejak mereka yang sudah menelurkan karyanya dalam sebuah buku, sehingga dapat dinikmati banyak orang.

Ada yang berpendapat bahwa menulis adalah salah satu bukti eksistensi diri. Bahkan mungkin sebagai ajang bernarsis ria serta membanggakan diri. Sebuah tulisan juga dapat digunakan sebagai sarana untuk melakukan kritik dan masukan bagi para pelaku kesalahan. Tulisan juga bisa dijadikan sebagai jalan untuk mengutarakan rasa cinta pada seseorang, pada suatu hal, pada suatu kejadian. Inilah yang banyak dilakukan orang-orang dulu, dimana mereka mengungkapkan perasaan cintanya melalui surat yang langsung mereka tulis sendiri.

Bagiku, bisa jadi suatu hari nanti tulisan juga akan menjadi lokomotifku untuk membawa rangkaian perasaan yang terjalin indah dalam hatiku. InsyaAllah. Pokoknya mulai sekarang aku sempatkan sebisa mungkin untuk menulis. Apapun itu.