Laman

Sabtu, 20 Maret 2010

Bukan Sengaja Canda Itu

Memang dasar aku suka iseng. Lebih parah lagi keisenagnku ga liat2 tempat, ga liat sama siapa yang aku isengin. Emang dasarnya suka bercanda. Aku anggap setiap orang sama untuk bisa diajak bercanda. Kupikir selama dia kenal aku, aku kenal dia, kemungkinan besar 99,99% bisa aku ajak bercanda.

Tapi teori ku salah. Setiap orang memiliki karakter masing-masing. Ada yang kuat, biasa saja tanggapannya dengan candaan yg juga kuanggap biasa. Aku tak akan pernah bermasalah dengan tipe orang seperti itu dalam candaanku. Justru malah ada sebagian yang senang, tertawa sendiri bahkan menularkan pada temannya yang lain.

Yang membuatku gelisah adalah untuk yang tak suka dengan candaanku. Yang menurut mereka tidak pas, tidak tepat. Mungkin suasana hati mereka memang sedang tidak cocok untuk diajak bercanda. Mungkin sedang tak ingin tersenyum kali ya??!! Entah lah, hanya mreka dan Allah saja yang tahu suasana hatinya.

Ini juga lah yang membuatku sampai membuat posting tulisan ini. Ingin bebagi cerita saja pada yang membaca tulisan ini. Yang harus digarisbawahi dan dicetak tebal adalah, jangan pernah menganggap sama setiap orang dalam candaan. setiap orang sudah memiliki karakter masing-masing. Tak tepat kalau bercanda dengan mereka yang suasana hatinya sedang tak baik. Nah kalau untuk yang kedua ini memang agak sulit, apalagi kalau kita cuma lagi komunikasi lewat chat FB.. Aku belum tahu bagaimana solusi untuk yang kedua ini.

Melalui tulisan ini juga aku ingin meminta maaf untuk semua teman & sahabat yang pernah merasa aku sakiti karena candaanku. Tak pernah ada maksudku untuk menyakiti atau membuat goresan kasar pada hati kalian. Maksudku hanyalah hanya sekedar ingin mencairkan suasana saja. Hanya ingin membuat kalian tersenyum. Tapi ternyata salah kalau aku menganggap semuanya sama. Sekali lagi aku mohon ampun kalau memang telah menyakiti pereasaan kalian. Mohon maaf beribu kali maaf. Kalau teman2 berfikir tak ada manusia yang sempurna, tak bisa disamakan karakter setiap orang, aku juga bukan orang yang sama dengan yang lain. Aku mungkin orang yang sering keterusan kalau bercanda.
Sekali lagi tapi bukan yang terakhir, aku mohon maaf kalau sudah menyakiti hati teman2 dan sahabatku.

Jumat, 05 Maret 2010

Sahabatku Terlebih Dulu Pergi Meninggalkanku

Hari itu Kamis malam tanggal 28 Januari 2010. Aku dan teman kelompok tugas mata kuliah Perancangan Pabrik sibuk menyelesaikan perbaikan tugas akhir yang diberikan bu Erliza Noor, yang harus dikumpul keesokan harinya. Kami menyelesaikan tugas tersebut di sekretariat Himalogin sampai tak terasa hampir jam sebelas malam. Kontan aku berfikir kostan siapa kira-kira yang akan kujadikan tempat menginap malam itu. Karena seperti biasanya, kalau aku baru selesai menggarap tugas melebihi jam malam asrama, kemungkinan besar aku pasti tak akan tidur di asrama untuk malam tersebut.

Bukan karena tidak boleh masuk asrama, bukan pula karena aku akan diusir oleh satpam ataupun penghuni lain, tapi lebih karena alasan moral (enak - tidak enak). Aku tidak enak kepada satpam yang berjaga malam itu, sebab aku sering mewanti-wanti adik-adik asrama untuk tidak pulang melewati jam malam, dan tak jarang pula aku menghukum adik-adik yang pulang lewat jam malam. Makanya, kalau aku pulang melewati jam malam, berarti aku mencontohkan tidak baik untuk adik-adik asrama, berarti aku pun terpaksa melanggar kata-kata yang sering aku ajarkan untuk adik-adik asrama, untuk tidak pulang melewati jam malam.

Malam itu tak seperti malam biasanya. Perasaanku aneh. Aku selalu ingin segera pulang ke asrama. Padahal hari itu sudah masuk hari liburan semester, jadi sedang tidak ada kegiatan yang menantiku di asrama. Selesai membereskan tugas aku langsung berjalan kaki pulang ke asrama, melewati koridor-koridor fakultas yang sepi, tak ada aktivitas rapat ataupun belajar bareng seperti malam-malam perkuliahan. Suasana itu menambah semakin aneh perasaanku, yang lebih mengarah pada rasa melankolis.

Setibanya di pintu gerbang asrama putra, tiga orang satpam jaga terlihat membicarakan sesuatu hal yang serius. Baru tiga langkah aku melewati gerbang, Catur datang menyambutku. Wajahnya terlihat begitu sedih. Dia segera menyalamiku dan menanyaiku satu hal yang sebaiknya tak usah aku tahu.

“Sudah dapat kabar tentang Ginanjar?..”Tanyanya padaku.

“Kabar apa? Emang Ginanjar kenapa, bukannya tadi dia pulang ke rumahnya?” balasku.

“Katanya Ginanjar kecelakaan.”

“Dimana,,? trus sekarang gimana keadaannya?” tanyaku dengan rasa sedih bercampur penasaran.

“Iya, katanya kecelakaan di Depok. Trus..” Catur berhenti sejenak.

“Katanya.. meninggal...”lanjutnya.

INNA LILLAAHI WA INNAA.. ILAIHI RAAJI'UUN....”

Tiba-tiba hatiku mendung, terasa bagaikan akan turun hujan deras disertai angin kencang. Terjawab sudah pertanyaan kenapa perasaanku malam itu sangat aneh. Kabar tidak mengenakkan datang kepadaku dan keluarga besar asrama. Sahabat sekaligus keluargaku di asrama telah pergi terlebih dulu meninggalkanku. Tak ada lagi candanya yang mewarnai keseharianku dan rekan-rekan SR lain di asrama. Kami merasa begitu kehilangan.

Usai mendapat kabar itu aku dan SR putra yang lain langsung menuju Rumah Sakit Sentra Medika. Pak Irmansyah dan Pak Bonny juga turut serta mendampingi kami. Kami berangkat menggunakan mobil Kijang asrama dan Inova merah milik Pak Bonny, serta tambahan mobil Ambulance asrama. Perjalanan kami sangat lancar. Jalanan sudah sepi mendekati tengah malam itu.

Sampai di halaman parkir rumah sakit sudah ada dua polisi yang berjaga. Mereka kemudian mengantar kami ke tempat jenazah. Kesunyian menyelimuti kami. Kami berjalan semakin mendekati tempat jenazah. Terlihat sesosok tubuh tertutupi kain putih, membujur di atas ranjang rumah sakit. Salah satu polisi menawarkan kami untuk melihat tubuh dibalik kain puti itu.

“Boleh lihat.. Tapi kalau yang tidak kuat mending tidak usah lihat.!”

Aku berdiri sekitar tiga meter darinya, tak berani mendekat lagi. Hanya beberapa teman SR yang berani mendekat. Polisi itu membuka kain putih secara perlahan.

Kontan suasana yang mulanya sunyi menjadi ramai dengan tangis. Kulihat seseorang yang pernah kukenal tertidur di balik kain putih itu. Kepalanya dibalut perban, basah dengan warna merah. Wajahnya sudah lebam hampir tak dikenali. Darah masih mengalir dari kedua telinganya.

Tangisku pun kembali pecah. Aku tak kuat melihat tubuh itu. Aku segera keluar ruangan, duduk dibangku dekat ruang itu. Kututupi wajahku dengan kedua tanganku. Kuhabiskan air mataku di tempat itu.

“Astagfirullah.. Astagfirullahaladziim.. Astagfirullahaladziim..” Berkali-kali kubaca istigfar untuk meredakan emosiku. Kubaca terus sampai air mataku tak lagi mengalir.

Kami menunggu sampai jenazah selesai dimandikan pengurus rumah sakit, setelah dipersilakan oleh pihak keluarga Ginanjar. Setelah itu kami langsung meluncur menuju rumah duka di Kampung Makasar, Jakarta Timur. Jenazah dibawa mobil ambulance asrama. Untuk pertama kalinya aku satu mobil dengan jenazah, tapi tak kurasakan ada suasana menyeramkan disana.

Sekitar jam dua malam kami sampai di rumah duka. Jenazah langsung dibaringkan di dalam rumah. Aku dan teman-teman SR lain pun kemudian menunggu di mushala sambil solat malam. Pemakaman rencananya dilangusngkan setelah solat Jum’at. Kuadukan semua perasaanku pada Allah. Aku berdoa sebisa aku bisa. Mataku kembali basah. Perasaanku begitu sendu. Gemerlap bintang malam yang terang, indah terlihat oleh orang lain, namun bagiku sangatlah suram, mereka terlihat muram, gelap tak terlihat.

Usai solat Jum’at, jenazah sekalian disolatkan oleh ratusan jamaah yang hadir. Isak tangis kembali terdengar dari beberapa jamaah yang ikut menyolatkan. Jamaah meng-aminkan doa yang dibacakan imam setelah solat.

Jenazah diberangkatkan menuju pemakaman Cilangkap diantar ratusan orang. Ada tiga kopaja, dua bus kecil IPB, tiga mobil pribadi, serta puluhan motor. Almarhum Ginanjar adalah orang besar, sehingga begitu banyak orang yang mengiringi kepergiannya. Dia telah membawa banyak perubahan, khususnya di asrama. Kepergiannya diiringi isak tangis banyak orang. Itu menandakan dia begitu dicintai banyak orang di sekitarnya.

Kini tak ada lagi canda seperti dulu yang mewarnai sekretariat SR asrama putra. Salah satu candanya yang kuingat adalah berbicara tentang pernikahan. Beberapa kali dia menceritakan kisah-kisah lucu pernikahan, apalagi waktu kami menghadiri pernikahan Mba Demi di Bekasi. Sepanjang perjalanan di mobil dia menghibur kami dengan cerita-cerita lucunya, sekali lagi tentang pernikahan. Dia begitu ingin menikah tak lama setelah lulus kuliah. Dia bilang ingin segera menyempurnakan separuh agamannya bersama seorang bidadari dunia.

Namun, Allah keburu memanggilnya ke tempat terbaik-Nya. Dia justru mendapatkan kenikmatan yang lebih indah dari bidadari dunia. Pasti sekarang dia sedang berbincang dengan bidadari calon mempelainya. Kembali bercanda dengan candaan yang terjaga.

Sahabatku Ginanjar Febrianto, doa kami menyertaimu...